Selasa, 29 Juni 2010

Sebuah Renungan...

Suatu ketika, ada seorang kakek tinggal dengan anaknya. Selain itu, tinggal pula menantu, dan anak mereka yang berusia 6 tahun.Tangan orang tua ini begitu rapuh, dan sering bergerak tak menentu. Penglihatannya buram, dan cara berjalannya pun ringkih. Keluarga itu biasa makan bersama di ruang makan. Namun, sang orang tua yang pikun ini sering mengacaukan segalanya. Tangannya yang bergetar dan mata yang rabun, membuatnya susah untuk menyantap makanan. Sendok dan garpu kerap jatuh ke bawah. Saat si kakek meraih gelas, segera saja susu itu tumpah membasahi taplak. Anak dan menantunya pun menjadi gusar. Mereka merasa direpotkan dengan semua ini. "Kita harus lakukan sesuatu," ujar sang suami. "Aku sudah bosan membereskan semuanya untuk pak tua ini."

Lalu, kedua suami-istri ini pun membuatkan sebuah meja kecil di sudut ruangan. Di sana, sang kakek akan duduk untuk makan sendirian, saat semuanya menyantap makanan. Karena sering memecahkan piring, keduanya juga memberikan mangkuk kayu untuk si kakek. Sering saat keluarga itu sibuk dengan makan malam mereka, terdengar isak sedih dari sudut ruangan. Ada air mata yang tampak mengalir dari gurat keriput si kakek. Meski tak ada gugatan darinya. Tiap kali nasi yang dia suap, selalu ditetesi air mata yang jatuh dari sisi pipinya. Namun, kata yang keluar dari suami-istri ini selalu omelan agar Ia tak menjatuhkan makanan lagi. Anak mereka yang berusia 6 tahun memandangi semua dalam diam.

Suatu malam, sebelum tidur, sang ayah memperhatikan anaknya yang sedang memainkan mainan kayu. Dengan lembut ditanyalah anak itu. "Kamu sedang membuat apa?". Anaknya menjawab, "Aku sedang membuat meja kayu buat ayah dan ibu, untuk makan saat ku besar nanti. Nanti, akan kuletakkan di sudut itu, dekat tempat kakek biasa makan." Anak itu tersenyum dan melanjutkan pekerjaannya.

Jawaban itu membuat kedua orang tuanya begitu sedih dan terpukul. Mereka tak mampu berkata-kata lagi. Lalu, air mata pun mulai bergulir dari kedua pipi mereka. Walau tak ada kata-kata yang terucap, kedua orang tua ini mengerti, ada sesuatu yang harus diperbaiki.

Mereka makan bersama di meja makan. Tak ada lagi omelan yang keluar saat ada piring yang jatuh, makanan yang tumpah atau taplak yang ternoda. Kini, mereka bisa makan bersama lagi di meja utama. Dan anak itu, tak lagi meraut untuk membuat meja kayu.

Sahabat, anak-anak adalah persepsi dari kita. Mata mereka akan selalu mengamati, telinga mereka akan selalu menyimak, dan pikiran mereka akan selalu mencerna setiap hal yang kita lakukan. Mereka adalah peniru. Jika mereka melihat kita memperlakukan orang lain dengan sopan, hal itu pula yang akan dilakukan oleh mereka saat dewasa kelak. Orangtua yang bijak, akan selalu menyadari, setiap "bangunan jiwa" yang disusun, adalah pondasi yang kekal buat masa depan anak-anak.

Mari, susunlah bangunan itu dengan bijak. Untuk anak-anak kita, untuk masa depan kita, untuk semuanya. Sebab, untuk merekalah kita akan selalu belajar, bahwa berbuat baik pada orang lain, adalah sama halnya dengan tabungan masa depan.

Senin, 28 Juni 2010

Pendayung Sampan dan Professor

Suatu hari seorang profesor menyewa sebuah sampan untuk membuat kajian di tengah lautan. Pendayung itu merupakan lelaki tua yang sangat pendiam. Profesor sengaja mengupah lelaki tua itu kerana dia tidak mau orang yang menemaninya banyak menyoal tentang apa yang dia lakukan.

Dengan tekun Profesor itu melakukan tugasnya tanpa menghiraukan pendayung sampan. Dia mengambil air laut dan diisi kedalam tabung uji, digoncang-goncang, kemudian mencatat sesuatu di dalam buku catatan dibawanya. Berjam-jam lamanya Profesor itu melakukan kajian dengan tekun sekali. Pendayung sampan mendongak ke langit, memandang pada awan yang mula berarak kelabu. Dalam hati dia berkata “Hmm..tak lama hujan lebat akan turun..”

“OK semua sudah siap mari kita balik.” Lantas pendayung itu memusingkan sampannya dan mula mendayung ke arah pantai. Dalam perjalanan itu baru Profesor itu membuka mulut menegur pendayung sampan.

“Dah lama kamu mendayung sampan?” Tanya Profesor kepada pendayung sampan. “Hmm… Hampir seumur hidupku,” jawab si pendayung ringkas.

“Seumur hidup kamu? Jadi kamu tidak tahu apa-apa selain mendayung sampan?” tanya Profesor itu lagi.

“Ya..”jawab pendayung sampan dengan ringkas.

Profesor belum berpuas hati dengan jawapan pendayung tua itu. “Kamu tahu Geografi?” Si pendayung menggeleng..

“Kalau begitu kamu hilang 25% dari usia hidup kamu.”
“Kamu tahu Biologi?”tanya Profesor itu lagi. Pendayung sampan itu menggeleng lagi.

“Kasihan kamu telah kehilangan 50% dari usia kamu.”

“Kamu tahu Fisik?” Profesor itu masih bertanya. Seperti tadi pendayung sampan itu hanya menggeleng.

“Sungguh kasihan kalau begitu kamu telah kehilangan 75% usia kamu. Malang sungguh nasib kamu semuanya tidak tahu. Seluruh hidup kamu hanya dihabiskan dengan sampan, tak ada gunanya lagi,” Profesor itu mengejek dan berkata dengan angkuh setelah merasakan dirinya yang terhebat. Pendayung sampan hanya mendiamkan diri.

Selang beberapa menit kemudian hujan turun dengan lebat, tiba-tiba ombak besar datang melanda. Sampan yang mereka naiki terbalik. Profesor dan pendayung sampan terpelanting. Sempat pula pendayung itu bertanya, “Kamu tahu berenang?” Profesor hanya menggeleng.

“Sayang sekali kamu telah kehilangan 100% nyawa kamu.” Kata pendayung itu sambil berenang ke pantai meninggalkan Profesor yang angkuh tadi.

Jumat, 25 Juni 2010

Diam Adalah Emas!

Saat Anda tak memiliki kata yang perlu dibicarakan, diamlah. Cukup mudah untuk mengetahui kapan waktunya berbicara. Namun mengetahui kapan Anda harus diam adalah hal yang jauh berbeda. Salah satu fungsi bibir adalah untuk dikatupkan. Bagaimana Anda bisa memperhatikan dan mendengarkan dengan lidah yang berkata-kata? Diamlah demi kejernihan pandangan Anda. Orang yang mampu diam di tengah keinginan untuk berbicara mampu menemukan kesadaran dirinya. Sekali Anda membuka mulut, Anda akan temui betapa banyak kalimat-kalimat meluncur tanpa anda kehendaki. Seringkali orang tergelincir oleh kerikil kecil, bukan batu besar. Butiran mutiara indah hanya bisa tercipta bila kerang mutiara mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Sekali ia membuka lebar-lebar cangkangya, maka pasir dan kotoran laut segera memenuhi mulutnya. Inilah ibarat, kekuatan Anda untuk diam. Kebijakan seringkali tersimpan rapat dalam diamnya para bijak. Untuk itu, Anda perlu berusaha membukanya sekuat tenaga. Bukankah pepatah mengatakan, “Diam Adalah Emas”?

Kuatnya Sebongkah Harapan!

Dahulu, ada sepasang pengusaha yang cukup berhasil di kotanya. Ketika Sang Suami jatuh sakit, satu-persatu pabrik mereka dijual. Harta mereka terkuras untuk berbagai biaya pengobatan. Hingga mereka harus pindah ke pinggiran kota dan membuka rumah makan sederhana. Sang suami pun telah tiada. Beberapa tahun kemudian, rumah makan itu pun harus berganti rupa menjadi warung makan yang lebih kecil di sebelah pasar. Setelah lama tak terdengar kabarnya, kini setiap malam tampak Sang Istri dibantu oleh anak dan menantunya menggelar tikar berjualan lesehan di alun-alun kota. Cucunya sudah beberapa. Orang-orang pun masih mengenal masa lalunya yang berkelimpahan. Namun, ia tak kehilangan senyumnya yang tegar saat meladeni para pembeli. Wahai Ibu, bagaimana kau sedemikian kuat?

“Harapan Nak! Jangan kehilangan harapan! Bukankah seorang Guru dunia pernah berujar, karena harapanlah seorang Ibu menyusui anaknya. Karena harapanlah kita menanam pohon meskipun kita tahu kita tak akan sempat memetik buahnya yang ranum bertahun-tahun kemudian, harapanlah yang membuat kita tetap bertahan dimasa sulit, harapanlah yang memberi kita kekuatan untuk bertahan. Jagalah harapan itu. Sekali kau kehilangan harapan, kau akan kehilangan seluruh kekuatanmu untuk menghadapi dunia”.

There's No Shortcut to Happiness

Keberhasilan dan kebahagiaan tidak diperoleh begitu saja. Ia adalah buah dari pohon kerja keras. Jangan terlalu berharap pada kemujuran. Tahukah anda apa itu kemujuran? Bukankah kita tak selalu mampu menjelaskan dari mana datangnya kemujuran?

Sadarilah bahwa segala sesuatu perlu berjalan alami dan semestinya. Pertumbuhan diri adalah proses mendaki tangga. Anda harus melalui anak tangga satu per satu. Tak perlu repot-repot mencari jalan pintas, karena memang “Tak ada jalan pintas”.

Hargai saja setiap langkah kecil yang membawa anda maju. Ketergesaan adalah beban yang memberati langkah saja.

Amati jalan lurus yang ada. Tak peduli bergelombang atau berbatu, selama anda yakin berada di jalan yang tepat, maka melangkahlah terus. Dan, jalan yang tepat itu adalah jalan yang menuntun anda menjadi diri anda sendiri.

Sadarkah Kita?

Sadarkah kita bahwa,;
Kita dilahirkan dengan dua mata di depan, karena seharusnya kita melihat yang ada di depan. Kita lahir dengan dua telinga, satu di kiri dan satu di kanan sehingga kita dapat mendengar dari dua sisi. Menangkap pujian maupun kritikan, dan melihat mana yang benar.

Kita dilahirkan dengan otak tersembunyi di dalam tengkorak kepala. Sehingga betapapun miskinnya kita, kita tetap kaya. Tak seorang pun yang dapat mencuri isi otak kita, yang lebih berharga dari segala permata yang ada.

Kita dilahirkan dengan dua mata, dua telinga, namun cukup dengan satu mulut. Agar kita lebih banyak melihat dan mendengar dari pada berbicara. Karena mulut adalah senjata yang tajam, yang dapat melukai, memfitnah, bahkan membunuh.

Kita dilahirkan dengan satu hati, yang mengingatkan kita untuk menghargai dan memberikan cinta kasih dari dalam lubuk hati. Belajar mencintai dan menikmati dicintai, tetapi jangan mengharapkan orang lain mencintai anda dengan “cara” dan “sebanyak yang sudah anda berikan”.

Berikanlah cinta “tanpa mengharapkan balasan”. Kedengarannya seperti hal yang sulit dan terkesan munafik bukan? Namun jika anda dapat menyingkirkan kemunafikan itu dan menjalaninya maka anda akan menemukan bahwa hidup ini akan menjadi lebih indah.

Just Say... I Don't Know...

Menjadi cerdas, tidak berarti mengetahui segala jawaban. Terkadang, jawaban paling cerdas yang kita dapat katakan adalah “Saya tidak tahu…”. Diperlukan rasa percaya diri dan kecerdasan ekstra untuk mengakui ketidaktahuan kita. Dan saat kita melakukannya, kita sedang berada dalam proses mempelajari jawaban sesungguhnya.

Seringkali, karena alasan kebanggaan dan mencegah rasa tidak aman, kita mengatakan tahu, kita mengatakan tahu, padahal kita tidak tahu. Lewat cara ini, kita telah menyia-nyiakan kesempatan untuk belajar lebih lanjut. Percayalah, tidak ada salahnya jika kita tidak mengetahui suatu hal.

Bagian terpenting dari kebijaksanaan adalah mengetahui batas pengetahuan anda. Mengetahui apa yang kita tahu dan apa yang kita tidak tahu. Orang yang benar-benar cerdas adalah orang yang tahu dan mengerti, bahwa tak semua pertanyaan dapat ia jawab. Orang yang benar-benar cerdas, adalah orang yang mau bertanya, mau belajar, mau bertumbuh.

Gunakan pengetahuan yang anda miliki, dan miliki pengetahuan yang anda perlukan. Itu adalah jalan terbaik yang dapat anda tempuh.

Bercerminlah Pada Diri Sendiri!

Ketika dua cermin saling berhadapan, muncul pantulan yang tak terhingga. Begitulah jika kita mau bercermin pada diri sendiri. Akan kita temukan bayangan yang tak terhingga. Bayangan itu adalah kemampuan yang tak terhingga. Bayangan itu adalah kemampuan yang luar biasa, ketakterbatasan yang memberi kekuatan untuk menembus batas rintangan diri. bercerminlah pada diri sendiri, dan temukan kekuatan itu.

Singkirkan cermin dari orang lain. Disana hanya terlihat kekurangan dan kelemahan kita yang akan memupuk ketidakpuasan saja. Dan ini akan menjerumuskan kita ke dalam jurang kekecewaan.

Anda bukan orang lain. Anda adalah Anda yang memiliki jalan keberhasilan sendiri. Mulailah hari ini dengan menatap wajah Anda. Carilah bayangan yang tak terhingga itu. Di sana ada kekuatan yang akan membawa Anda ke puncak keberhasilan.

Cara Alam Menghibur Kita

Pernahkah Anda mengalami ketika hujan deras mengguyur, Anda lupa membawa payung. Lalu Anda pun basah kuyup kedinginan. Namun, ketika Anda menyiapkan jas hujan, justru panas dan terik datang membakar hari. Sebalkah Anda?

Atau mungkin Anda pernah terburu-buru mengejar waktu, tetapi perjalanan malah tersendat, seolah membiarkan Anda terlambat. Namun, ketika Anda ingin melaju dengan tenang, pengendara lain malah membunyikan klakson agar Anda mempercepat laju kendaraan. Sebalkah Anda? Mengapa seringkali keadaan tak bersahabat? Mereka seakan meledek, mengecoh, bahkan tertawa terbahak-bahak. Inikah yang disebut “kesialan” atau “ketidakmujuran”?

Sadarilah, itu adalah cara alam menghibur kita. Itulah cara alam mengajak kita tersenyum, menertawakan diri sendiri, dan bergurau secara nyata. Kejengkelan dan kesebalan itu muncul karena kita tak mencoba bersahabat dengan keadaan. Kita hanya mementingkan diri sendiri. Kita lupa bahwa jika toh keinginan kita tidak tercapai, tak ada salahnya jika kita menyambutnya dengan senyum. Meski serasa kecut, tak apalah… ^_^

Yang Benar...

Memang menyakitkan ketika kita mencintai seseorang, namun ia tak membalasnya, tetapi yang lebih menyakitkan adalah ketika kita mencintai seseorang dan kita tidak pernah dapat menemukan keberanian untuk mengungkapkan perasaan kita kepadanya.

Sebuah hal yang menyedihkan dalam hidup ketika kita bertemu dengan seseorang, yang sangat berharga bagi kita, hanya untuk mengetahui pada akhirnya seseorang tersebut tidak ditakdirkan untuk bersama kita, sehingga kita harus dengan berat hati membiarkannya pergi dan berlalu.

Teman terbaik adalah teman dimana ketika kita duduk bersama, tanpa ada ucapan sekatapun, dan ketika kita harus berpisah dengannya, terasa seolah hal tersebut merupakan percakapan paling menyenangkan yang pernah dilakukan bersama.

Adalah benar bahwa kita takkan pernah tahu apa yang telah kita dapatkan hingga kita kehilangannya. tetapi adalah benar juga, ketika kita tidak tahu apa yang telah hilang hingga hal tersebut menghampiri kita.

Impikan saja apa yang ingin kita impikan, pergi saja kemanapun kita ingin pergi, jadilah sebagai sosok yang kita inginkan, karena kita hanya memiliki satu buah kehidupan dan satu buah kesempatan untuk dapat melakukan semua hal yang kita inginkan.

Letakkan diri kita sebagai layaknya orang lain, jika kita merasa hal yang kita lakukan akan menyakiti diri kita, hal tersebut mungkin akan menyakiti yang lain pula.

Kata-kata yang terucap tanpa perhitungan mungkin akan menyulut perselisihan, perkataan yang kejam dapat menghancurkan kehidupan, sebuah kata yang tak tepat mungkin juga mampu menambah beban batin seseorang, dan… Sebuah kata yang penuh cinta kasih mungkin dapat menyembuhkan dan memberikan berkah.

Orang yang paling bahagia adalah orang yang tidak merasa selalu membutuhkan semua hal terbaik, mereka hanya berfikir bagaimana mencipta semua hal menjadi terbaik bagi dirinya dan Mereka, orang-orang yang mengisi hidupnya.

Cinta dimulai dengan sebuah senyum, kemudian tumbuh dengan sebuah kecupan, dan berakhir dengan air mata. Ketika kita dilahirkan, kita menangis begitu kerasnya, sementara orang-orang di sekliling kita tersenyum bahagia. Ketika kita menanggalkan hidup, maka kita adalah pihak yang tersenyum begitu bahagia… Sementara orang disekeliling kita menangis.

Paku

Suatu ketika, ada seorang anak laki-laki yang bersifat pemarah. Untuk mengurangi kebiasaan pemarah sang anak, ayahnya memberikan sekantong paku dan mengatakan pada anak itu untuk memakukan sebuah paku dipagar belakang setiap kali ia marah…

Hari pertama anak itu telah memakukan 48 paku ke pagar setiap kali ia marah… Lalu secara bertahap jumlah itu berkurang. Dia mendapati bahwa ternyata lebih mudah menahan amarahnya daripada memakukan paku ke pagar.

Akhirnya tibalah hari dimana anak tersebut merasa sama sekali bisa mengendalikan amarahnya dan tidak cepat kehilangan kesabarannya. Dia memberitahukan hal ini kepada ayahnya, yang kemudian mengusulkan agar dia mencabut satu paku untuk setiap hari dimana dia tidak marah.

Hari-hari berlalu dan anak laki-laki itu akhirnya memberitahu ayahnya bahwa semua paku telah tercabut olehnya. Lalu sang yayah menuntun anaknya ke pagar. “Hmm, kamu telah berhasil dengan baik anakku, tapi, lihatlah lubang-lubang dipagar ini. Pagar ini tidak akan pernah sama dengan sebelumnya. Ketika kamu mengatakan sesuatu dalam kemarahan, kata-katamu meninggalkan bekas seperti lubang ini… di hati orang lain.

Kamu dapat menusukkan pisau pada seseorang, lalu mencabut pisau itu… Tetapi tidak peduli beberapa kali kau minta maaf, luka itu akan tetap ada… Dan luka karena kata-kata adalah sama buruknya dengan luka fisik… Bahkan terkadang lebih buruk”.

Garam dan Telaga

Suatu ketika hiduplah seorang tua yang bijak. Pada suatu pagi, datanglah seorang anak muda yang sedang dirundung banyak masalah. langkahnya gontai dan air muka yang ruwet. Tamu itu, memang tampak seperti orang yang tak bahagia.

Tanpa membuang waktu, orang itu menceritakan semua masalahnya. Pak Tua yang bijak hanya mendengarkannya dengan seksama. Ia lalu mengambil segenggam garam, dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya garam itu kedalam gelas, lalau diaduknya perlahan. “Coba, minum ini, dan katakan bagaimana rasanya..”, ujar Pak Tua itu.

“Pahit. Pahit sekali”, jawab sang tamu, sambil meludah kesamping. Pak Tua itu, sedikit tersenyum. Ia, lalu mengajak tamunya ini, untuk berjalan ke tepi telaga di dalam hutan dekat tempat tinggalnya. kedua orang itu berjalan berdampingan, dan akhirnya sampailah mereka ke tepi telaga yang tenang itu.

Pak Tua itu, lalu kembali menaburkan segenggam garam, ke dalam telaga itu. Dengan sepotong kayu, dibuatnya gelombang mengaduk-ngaduk dan tercipta riak air, mengusik ketenangan telaga itu. “Coba, ambil air dari telaga ini, dan minumlah. saat tamu itu selesai mereguk air itu, Pak Tua berkata lagi, “bagaimana rasanya?”.

“Segar.”, sahut tamunya. “Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu?”. Tanya Pak Tua lagi. “Tidak”, jawab si anak muda. Dengan bijak, Pak Tua itu menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di samping telaga itu. “Anak muda, dengarlah. pahitnya kehidupan, adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu sama, dan memang akan tetap sama.”

“Tapi, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu, akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkan dadamu menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu.”

Pak Tua itu lalu kembali memberikan nasehat. “Hatimu, adalah wadah itu. perasaanmu adalah tempat itu. kalbumu, adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan.”

Keduanya lalu beranjak pulang. Mereka sama-sama belajar hari itu. dan pak tua, si orang bijak itu, kembali menyimpan “segenggam garam”, untuk anak muda yang lain, yang sering datang padanya dengan keresahan jiwa.