Senin, 08 November 2010

Tambahkan Cinta dan Kurangi Benci

Seorang pria bertemu dengan seorang gadis di sebuah pesta, si gadis tampil luar biasa cantiknya, banyak lelaki yang mencoba mengejar si gadis. Si pria sebetulnya tampil biasa saja dan tak ada yang begitu memperhatikan dia, tapi pada saat pesta selesai dia memberanikan diri mengajak si gadis untuk sekedar mencari minuman hangat. Si gadis agak terkejut, tapi karena kesopanan si pria itu, si gadis mengiyakan ajakannya.

Mereka berdua akhirnya duduk di sebuah coffee shop, tapi si pria sangat gugup untuk berkata apa-apa dan si gadis mulai merasa tidak nyaman dan berkata, "Kita pulang saja ya?".

Namun tiba-tiba si pria meminta sesuatu pada sang pramusaji, "Bisa minta garam buat kopi saya?" Semua orang yang mendengar memandang dengan heran ke arah si pria, aneh sekali! Wajahnya berubah merah, tapi tetap saja dia memasukkan garam tersebut ke dalam kopinya dan meminumnya. Si gadis dengan penasaran bertanya, "Kenapa kamu bisa punya kebiasaan seperti ini?" Si pria menjawab, "Ketika saya kecil, saya tinggal di daerah pantai dekat laut, saya suka bermain di laut, saya dapat merasakan rasanya laut, asin dan sedikit menggigit, sama seperti kopi asin ini. Dan setiap saya minum kopi asin, saya selalu ingat masa kanak-kanak saya, ingat kampung halaman, saya sangat rindu kampung halaman saya, saya kangen orang tua saya yang masih tinggal di sana."

Begitu berkata kalimat terakhir, mata si pria mulai berkaca-kaca, dan si gadis sangat tersentuh akan perasaan tulus dari ucapan pria di hadapannya itu. Si gadis berpikir bila seorang pria dapat bercerita bahwa ia rindu kampung halamannya, pasti pria itu mencintai rumahnya, peduli akan rumahnya dan mempunyai tanggung jawab terhadap rumahnya. Kemudian si gadis juga mulai berbicara, bercerita juga tentang kampung halamannya nun jauh di sana , masa kecilnya dan keluarganya. Suasana kaku langsung berubah menjadi sebuah perbincangan yang hangat juga akhirnya menjadi sebuah awal yang indah dalam cerita mereka berdua.

Mereka akhirnya berpacaran. Si gadis akhirnya menemukan bahwa si pria itu adalah seorang lelaki yang dapat memenuhi segala permintaannya, dia sangat perhatian, berhati baik, hangat, sangat perduli... betul-betul seseorang yang sangat baik tapi si gadis hampir saja kehilangan seorang lelaki seperti itu!

“Kopi asin yang ada gunanya...”

Kemudian cerita berlanjut seperti layaknya setiap cerita cinta yang indah, sang putri menikah dengan sang pangeran dan mereka hidup bahagia selamanya, dan setiap saat sang putri membuat kopi untuk sang pangeran, ia membubuhkan garam di dalamnya, karena ia tahu bahwa itulah yang disukai oleh pangerannya.

Setelah 40 tahun, si pria meninggal dunia, dan meninggalkan sebuah surat yang berkata...

"Sayangku yang tercinta, mohon maafkan saya, maafkan kalau seumur hidupku adalah dusta belaka. Hanya sebuah kebohongan yang aku katakan padamu ... tentang kopi asin. Ingat sewaktu kita pertama kali jalan bersama? Saya sangat gugup waktu itu, sebenarnya saya ingin minta gula tapi malah berkata garam. Sulit sekali bagi saya untuk mengubahnya karena kamu pasti akan tambah merasa tidak nyaman, jadi saya maju terus. Saya tak pernah terpikir bahwa hal itu ternyata menjadi awal komunikasi kita! Saya mencoba untuk berkata sejujurnya selama ini, tapi saya terlalu takut melakukannya, karena saya telah berjanji untuk tidak membohongimu untuk suatu apa pun.”

“Sekarang saya sekarat, saya tidak takut apa-apa lagi jadi saya katakan padamu yang sejujurnya, saya tidak suka kopi asin, betul-betul aneh dan rasanya tidak enak. Tapi saya selalu dapat kopi asin seumur hidupku sejak bertemu denganmu, dan saya tidak pernah sekalipun menyesal untuk segala sesuatu yang saya lakukan untukmu. Memilikimu adalah kebahagiaan terbesar dalam seluruh hidupku. Bila saya dapat hidup untuk kedua kalinya, saya tetap ingin bertemu kamu lagi dan memilikimu seumur hidupku, meskipun saya harus meminum kopi asin itu lagi.”

Air mata si gadis betul-betul membuat surat itu menjadi basah. Kemudian hari bila ada seseorang yang bertanya padanya, apa rasanya minum kopi pakai garam?

Si gadis pasti menjawab, "Rasanya manis."

Kadang Anda merasa Anda mengenal seseorang lebih baik dari orang lain, tapi hanya untuk menyadari bahwa pendapat Anda tentang seseorang itu bukan seperti yang Anda gambarkan. Sama seperti kejadian kopi asin tadi. “Tambahkan Cinta dan Kurangi Benci karena terkadang garam terasa lebih manis daripada gula.”

Jumat, 27 Agustus 2010

Kisah Pohon Apel

Suatu ketika, hiduplah sebatang pohon apel besar dan anak lelaki yang senang bermain-main di bawah pohon apel itu setiap hari. Ia senang memanjatnya hingga ke pucuk pohon, memakan buahnya, tidur-tiduran di keteduhan rindang daun-daunnya. Anak lelaki itu sangat mencintai pohon apel itu. Demikian pula pohon apel sangat mencintai anak kecil itu. Waktu terus berlalu, anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan tidak lagi bermain-main dengan pohon apel itu setiap harinya.

Suatu hari ia mendatangi pohon apel. Wajahnya tampak sedih.
"Ayo ke sini bermain-main lagi denganku.", pinta pohon apel itu.
"Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan pohon lagi.", jawab anak lelaki itu.
"Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang untuk membelinya."
Pohon apel itu menyahut,
"Duh, maaf aku pun tak punya uang, tetapi kau boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Kau bisa mendapatkan uang untuk membeli mainan kegemaranmu."
Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memetik semua buah apel yang ada di pohon dan pergi dengan penuh suka cita. Namun, setelah itu anak lelaki tak pernah datang lagi. Pohon apel itu kembali sedih.

Suatu hari anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel sangat senang melihatnya datang. "Ayo bermain-main denganku lagi.", kata pohon apel.
"Aku tak punya waktu,", jawab anak lelaki itu.
"Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku?".
"Duh, maaf aku pun tak memiliki rumah, tapi kau boleh menebang semua dahan rantingku untuk membangun rumahmu.", kata pohon apel.
Kemudian anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon apel itu dan pergi dengan gembira. Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat anak lelaki itu senang, tapi anak lelaki itu tak pernah kembali lagi. Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih.

Pada suatu musim panas, anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel merasa sangat bersuka cita menyambutnya.
"Ayo bermain-main lagi denganku.", kata pohon apel.
"Aku sedih.", kata anak lelaki itu.
"Aku sudah tua dan ingin hidup tenang. Aku ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukah kau memberi aku sebuah kapal untuk pesiar?"
"Duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong batang tubuhku dan menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah."
Kemudian, anak lelaki itu memotong batang pohon apel itu dan membuat kapal yang diidamkannya. Ia lalu pergi berlayar dan tak pernah lagi datang menemui pohon apel itu.

Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah bertahun-tahun kemudian.
"Maaf anakku", kata pohon apel itu.
"Aku sudah tak memiliki buah apel lagi untukmu."
"Tak apa, aku pun sudah tak memiliki gigi untuk mengigit buah apelmu.", jawab anak lelaki itu.
"Aku juga tak memiliki batang dan dahan yang bisa kau panjat.", kata pohon apel.
"Sekarang aku juga sudah terlalu tua untuk itu.", jawab anak lelaki itu.
"Aku benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa aku berikan padamu. Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan sekarat ini.", kata pohon apel itu sambil menitikkan air mata.
"Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang,", kata anak lelaki.
"Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat lelah setelah sekian lama meninggalkanmu."
"Oooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar pohon tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring di pelukan akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang."
Anak lelaki itu berbaring di pelukan akar-akar pohon. Pohon apel itu pun sangat gembira dan tersenyum sambil meneteskan air matanya.

Pohon apel itu adalah orang tua kita.
Ketika kita muda, kita senang bermain-main dengan ayah dan ibu kita. Ketika kita tumbuh besar, kita meninggalkan mereka, dan hanya datang ketika kita memerlukan sesuatu atau dalam kesulitan. Tak peduli apa pun, orang tua kita akan selalu ada di sana untuk memberikan apa yang bisa mereka berikan untuk membuat kita bahagia. Anda mungkin berpikir bahwa anak lelaki itu telah bertindak sangat kasar pada pohon itu, tetapi begitulah cara kita memperlakukan orang tua kita.

What Does True Love Means?

Tersebutlah seorang gadis nan cantik jelita, namun karena suatu penyakit yang menimpanya, ia menjadi buta. Karena kebutaanya itu, semua orang menjauhinya. Namun ada seorang pemuda yang tertarik padanya dan menyatakan bahwa dia sangat mencintainya. Si gadis bersedia menjadi kekasihnya, dan mereka pun pacaran.

Setiap hari si pemuda menemani sang gadis, dengan setia dia menuntunnya kemanapun si gadis ingin pergi. Si gadis mengungkapkan keinginannya bahwa ia ingin dapat melihat kembali, dan orang pertama yang ingin dilihatnya adalah pemuda yang selama ini setia menemaninya. Si gadis berkata kepada sang pacar: “Kau sangat setia menemaniku, jika aku dapat melihat lagi, aku ingin menikah denganmu…”

Suatu hari sang gadis mendengar berita yang sangat menyenangkan. Ada seseorang yang rela mendonorkan matanya untuk gadis tersebut. Akhirnya si gadis dapat melihat kembali. Ia sangat senang, dan ia ingin segera melihat wajah kekasih yang selama ini menemaninya.

Namun, betapa terkejutnya si gadis, setelah mengetahui bahwa ternyata kekasihnya juga buta!
Pemuda itu kemudian berkata: “Aku senang sekarang kau dapat melihat kembali…”, maukah kau menikah denganku…?”
Namun apa yang terjadi? Ternyata gadis itu menolak untuk menikahinya… “Aku tak mau! Bagaimana mungkin aku menikahi seorang yang buta? Apa jadinya nanti? Pergi kau! Aku tak sudi menikah denganmu!”
Sang pemuda terkejut mendengar perkataan kekasihnya. Ia tak percaya dengan apa yang didengarnya. Ia berusaha untuk berbesar hati, dengan hati hancur dan senyum tersungging ia pergi sambil berkata: “Sayang, TOLONG JAGA MATAKU BAIK-BAIK YA…!”

Jumat, 13 Agustus 2010

Jika Allah “Cemburu”…



(Sebuah renungan untuk kita semua, terutama untuk penulis sendiri).

Pernahkah kamu cemburu? Bagaimana perasaan kamu kalau cemburu? Bayangkan saja misalnya teman kamu mendapatkan sesuatu yang spesial yang kamu juga sangat mengharapkannya, atau misalnya kamu sedang jalan-jalan di suatu tempat, kemudian kamu melihat pacarmu sedang jalan bergandengan tangan dengan orang lain!? (Oh No!)

Cemburukah kamu? Jika ya, sudah barang tentu akan timbul perasaan “Ngguuak Enak!”, marah, kesal, benci dan sebagainya yang bermula dari kecemburuan itu. Bahkan kamu dapat melakukan sesuatu yang diluar pemikiran kamu.

Kamu bisa saja merampas hak teman kamu, atau “Metidu” alias Adu Jotos dengan orang yang berani-beraninya jalan dengan pacar kamu, atau bahkan sampai mencelakakan orang lain karena cemburu (Naudzubillah min dzalik).

Itulah kira-kira yang tanpa kamu sadari dapat terjadi. Lalu… Pernahkah kamu bayangkan bagaimana jika Allah cemburu kepada kita? Kita, ummat manusia khususnya ummat muslim diperintahkan oleh Allah untuk menyembah HANYA KEPADA-NYA. Namun yang terjadi sekarang adalah kita lebih menuhankan dunia. Saya, Anda, dan kebanyakan ummat muslim di dunia ini tanpa disadari telah melupakan kodrat kita sebagai seorang hamba Allah. Kita sudah terlalu banyak berbuat dosa, salah dan khilaf. Kita terlalu asyik dengan urusan dunia kita, hingga kita melupakan kewajiban kita sebagai seorang hamba untuk beribadah dan menyembah kepadaNya. Sadarkah kita bahwa kita telah membuat Allah begitu cemburu? Sampai-sampai Allah menimpakan kemurkaannya kepada kita?

Tidaklah mengherankan mengapa seringkali kita ditimpa musibah dan bencana, serta masalah yang tak kunjung usai. Semua itu hanya merupakan “sentilan kecil” dari Yang Maha Kuasa agar kita sadar, agar kita tahu, agar kita mengerti, bahwa kita sudah terlalu jauh melupakan kodrat kita.

Oleh karena itu sobat, mari di momentum Bulan Ramadhan ini, kita tingkatkan ibadah kita kepada Allah, memohon ampun kepada Allah, menghambakan diri kepada Allah. Bukan hanya terbatas di bulan ramadhan ini saja, tapi tentunya diharapkan dapat berlanjut di sebelas bulan berikutnya. Agar Allah tak lagi cemburu, agar Allah mengganti kemurkaanNya dengan rahmatNya. Bukankah Allah itu Ar-Rahman dan Ar-Rahiim?

Senin, 09 Agustus 2010

Marhaban Yaa Ramadhan...


Ramadhan bulan mulia segera tiba

Persiapkan fisik, mental dan materi untuk menjalaninya
Bersihkan diri untuk menyambutnya
Perbanyak amalan di setiap harinya
Jaga diri dari segala hawa nafsu dan amarah
Jaga diri dari segala yang membatalkannya
Tegakkan shalat wajib dan sunnah
Perbanyak membaca Al-Qur'an
Introspeksi diri dengan ber-Itikaf di mesjid

Dan siap-siap gak makan siang selama 30 hari, ha ha ha... ^_^

Alhak Kece'Byurr mengucapkan:
Marhaban yaa Ramadhan, selamat datang bulan ramadhan
Bulan penuh berkah dan ampunan.

Selasa, 27 Juli 2010

Layaknya Sebatang Pensil...

Seorang anak bertanya kepada neneknya yang sedang menulis sebuah surat.

"Nenek lagi menulis tentang pengalaman kita ya? atau tentang aku”? Mendengar pertanyaan si cucu, sang nenek berhenti menulis dan berkata kepada cucunya. "Sebenarnya nenek sedang menulis tentang kamu, tapi ada yang lebih penting dari isi tulisan ini yaitu pensil yang nenek pakai”. "Nenek harap kamu bakal seperti pensil ini ketika kamu besar nanti”. Ujar si nenek lagi.

Mendengar jawab ini, si cucu kemudian melihat pensilnya dan bertanya kembali kepada si nenek ketika dia melihat tidak ada yang istimewa dari pensil yang nenek pakai. "Tapi nek sepertinya pensil itu sama saja dengan pensil yang lainnya." Ujar si cucu. Si nenek kemudian menjawab, "Itu semua tergantung bagaimana kamu melihat pensil ini." "Pensil ini mempunyai 5 kualitas yang bisa membuatmu selalu tenang dalam menjalani hidup, kalau kamu selalu memegang prinsip-prinsip itu di dalam hidup ini." Si nenek kemudian menjelaskan 5 kualitas dari sebuah pensil.

"Kualitas Pertama, pensil mengingatkan kamu kalau kamu bisa berbuat hal yang hebat dalam hidup ini. Layaknya sebuah pensil ketika menulis, kamu jangan pernah lupa kalau ada tangan yang selalu membimbing langkah kamu dalam hidup ini. Kita menyebutnya tangan Tuhan, Dia akan selalu membimbing kita menurut kehendak-Nya".

"Kualitas Kedua, dalam proses menulis, nenek kadang beberapa kali harus berhenti dan menggunakan rautan untuk menajamkan kembali pensil nenek. Rautan ini pasti akan membuat si pensil menderita. Tapi setelah proses meraut selesai, si pensil akan mendapatkan ketajamannya kembali. Begitu juga dengan kamu, dalam hidup ini kamu harus berani menerima penderitaan dan kesusahan, karena merekalah yang akan membuatmu menjadi orang yang lebih baik".

"Kualitas Ketiga, pensil selalu memberikan kita kesempatan untuk mempergunakan penghapus, untuk memperbaiki kata-kata yang salah. Oleh karena itu memperbaiki kesalahan kita dalam hidup ini, bukanlah hal yang jelek. Itu bisa membantu kita untuk tetap berada pada jalan yang benar".

"Kualitas Keempat, bagian yang paling penting dari sebuah pensil bukanlah bagian luarnya, melainkan arang yang ada di dalam sebuah pensil. Oleh sebab itu, selalulah hati-hati dan menyadari hal-hal di dalam dirimu".

"Kualitas kelima, adalah sebuah pensil selalu meninggalkan tanda atau goresan. Seperti juga kamu, kamu harus sadar kalau apapun yang kamu perbuat dalam hidup ini akan meninggalkan kesan. Oleh karena itu selalulah berhati-hati dan sadar terhadap semua tindakanmu".

Selasa, 13 Juli 2010

Cinta Ibarat Bis…?

Cinta itu sama seperti orang yg sedang menunggu Bis. Sebuah Bis kemudian datang, dan kamu bilang, "Wah... Terlalu penuh, sumpek, bakalan nggak bisa duduk nyaman neh! Aku tunggu Bis berikutnya aja deh." Kemudian, Bis berikutnya datang.

Kamu melihatnya dan berkata, "Aduh bisnya kurang asik nih, nggak bagus lagi… Nggak mau ah...",lalu Bis selanjutnya datang, cool dan kamu berminat, tapi seakan-akan dia tidak melihatmu dan lewat begitu saja.

Selanjutnya, Bis keempat pun berhenti tepat di depan kamu… Bis itu kosong, cukup bagus, tapi kamu bilang, "Nggak ada AC nih, bisa kepanasan aku nanti". Maka kamu membiarkan Bis keempat itu pergi.

Waktu terus berlalu, kamu mulai sadar bahwa kamu bisa terlambat pergi ke kantor. Ketika Bis kelima datang, kamu sudah tak sabar dan kamu langsung melompat masuk ke dalamnya.

Setelah beberapa lama, kamu akhirnya baru sadar kalau kamu salah menaiki Bis. Bis tersebut jurusannya bukan yang kamu tuju! Dan kamu baru sadar telah menyia-nyiakan waktumu sekian lama.

”Sering kali seseorang menunggu orang yang benar-benar 'ideal' untuk menjadi pasangan hidupnya. Padahal tidak ada orang yang 100% memenuhi keidealan kita. Dan kamu pun sekali-kali tidak akan pernah bisa menjadi 100% sesuai keinginan dia”

Selasa, 29 Juni 2010

Sebuah Renungan...

Suatu ketika, ada seorang kakek tinggal dengan anaknya. Selain itu, tinggal pula menantu, dan anak mereka yang berusia 6 tahun.Tangan orang tua ini begitu rapuh, dan sering bergerak tak menentu. Penglihatannya buram, dan cara berjalannya pun ringkih. Keluarga itu biasa makan bersama di ruang makan. Namun, sang orang tua yang pikun ini sering mengacaukan segalanya. Tangannya yang bergetar dan mata yang rabun, membuatnya susah untuk menyantap makanan. Sendok dan garpu kerap jatuh ke bawah. Saat si kakek meraih gelas, segera saja susu itu tumpah membasahi taplak. Anak dan menantunya pun menjadi gusar. Mereka merasa direpotkan dengan semua ini. "Kita harus lakukan sesuatu," ujar sang suami. "Aku sudah bosan membereskan semuanya untuk pak tua ini."

Lalu, kedua suami-istri ini pun membuatkan sebuah meja kecil di sudut ruangan. Di sana, sang kakek akan duduk untuk makan sendirian, saat semuanya menyantap makanan. Karena sering memecahkan piring, keduanya juga memberikan mangkuk kayu untuk si kakek. Sering saat keluarga itu sibuk dengan makan malam mereka, terdengar isak sedih dari sudut ruangan. Ada air mata yang tampak mengalir dari gurat keriput si kakek. Meski tak ada gugatan darinya. Tiap kali nasi yang dia suap, selalu ditetesi air mata yang jatuh dari sisi pipinya. Namun, kata yang keluar dari suami-istri ini selalu omelan agar Ia tak menjatuhkan makanan lagi. Anak mereka yang berusia 6 tahun memandangi semua dalam diam.

Suatu malam, sebelum tidur, sang ayah memperhatikan anaknya yang sedang memainkan mainan kayu. Dengan lembut ditanyalah anak itu. "Kamu sedang membuat apa?". Anaknya menjawab, "Aku sedang membuat meja kayu buat ayah dan ibu, untuk makan saat ku besar nanti. Nanti, akan kuletakkan di sudut itu, dekat tempat kakek biasa makan." Anak itu tersenyum dan melanjutkan pekerjaannya.

Jawaban itu membuat kedua orang tuanya begitu sedih dan terpukul. Mereka tak mampu berkata-kata lagi. Lalu, air mata pun mulai bergulir dari kedua pipi mereka. Walau tak ada kata-kata yang terucap, kedua orang tua ini mengerti, ada sesuatu yang harus diperbaiki.

Mereka makan bersama di meja makan. Tak ada lagi omelan yang keluar saat ada piring yang jatuh, makanan yang tumpah atau taplak yang ternoda. Kini, mereka bisa makan bersama lagi di meja utama. Dan anak itu, tak lagi meraut untuk membuat meja kayu.

Sahabat, anak-anak adalah persepsi dari kita. Mata mereka akan selalu mengamati, telinga mereka akan selalu menyimak, dan pikiran mereka akan selalu mencerna setiap hal yang kita lakukan. Mereka adalah peniru. Jika mereka melihat kita memperlakukan orang lain dengan sopan, hal itu pula yang akan dilakukan oleh mereka saat dewasa kelak. Orangtua yang bijak, akan selalu menyadari, setiap "bangunan jiwa" yang disusun, adalah pondasi yang kekal buat masa depan anak-anak.

Mari, susunlah bangunan itu dengan bijak. Untuk anak-anak kita, untuk masa depan kita, untuk semuanya. Sebab, untuk merekalah kita akan selalu belajar, bahwa berbuat baik pada orang lain, adalah sama halnya dengan tabungan masa depan.

Senin, 28 Juni 2010

Pendayung Sampan dan Professor

Suatu hari seorang profesor menyewa sebuah sampan untuk membuat kajian di tengah lautan. Pendayung itu merupakan lelaki tua yang sangat pendiam. Profesor sengaja mengupah lelaki tua itu kerana dia tidak mau orang yang menemaninya banyak menyoal tentang apa yang dia lakukan.

Dengan tekun Profesor itu melakukan tugasnya tanpa menghiraukan pendayung sampan. Dia mengambil air laut dan diisi kedalam tabung uji, digoncang-goncang, kemudian mencatat sesuatu di dalam buku catatan dibawanya. Berjam-jam lamanya Profesor itu melakukan kajian dengan tekun sekali. Pendayung sampan mendongak ke langit, memandang pada awan yang mula berarak kelabu. Dalam hati dia berkata “Hmm..tak lama hujan lebat akan turun..”

“OK semua sudah siap mari kita balik.” Lantas pendayung itu memusingkan sampannya dan mula mendayung ke arah pantai. Dalam perjalanan itu baru Profesor itu membuka mulut menegur pendayung sampan.

“Dah lama kamu mendayung sampan?” Tanya Profesor kepada pendayung sampan. “Hmm… Hampir seumur hidupku,” jawab si pendayung ringkas.

“Seumur hidup kamu? Jadi kamu tidak tahu apa-apa selain mendayung sampan?” tanya Profesor itu lagi.

“Ya..”jawab pendayung sampan dengan ringkas.

Profesor belum berpuas hati dengan jawapan pendayung tua itu. “Kamu tahu Geografi?” Si pendayung menggeleng..

“Kalau begitu kamu hilang 25% dari usia hidup kamu.”
“Kamu tahu Biologi?”tanya Profesor itu lagi. Pendayung sampan itu menggeleng lagi.

“Kasihan kamu telah kehilangan 50% dari usia kamu.”

“Kamu tahu Fisik?” Profesor itu masih bertanya. Seperti tadi pendayung sampan itu hanya menggeleng.

“Sungguh kasihan kalau begitu kamu telah kehilangan 75% usia kamu. Malang sungguh nasib kamu semuanya tidak tahu. Seluruh hidup kamu hanya dihabiskan dengan sampan, tak ada gunanya lagi,” Profesor itu mengejek dan berkata dengan angkuh setelah merasakan dirinya yang terhebat. Pendayung sampan hanya mendiamkan diri.

Selang beberapa menit kemudian hujan turun dengan lebat, tiba-tiba ombak besar datang melanda. Sampan yang mereka naiki terbalik. Profesor dan pendayung sampan terpelanting. Sempat pula pendayung itu bertanya, “Kamu tahu berenang?” Profesor hanya menggeleng.

“Sayang sekali kamu telah kehilangan 100% nyawa kamu.” Kata pendayung itu sambil berenang ke pantai meninggalkan Profesor yang angkuh tadi.

Jumat, 25 Juni 2010

Diam Adalah Emas!

Saat Anda tak memiliki kata yang perlu dibicarakan, diamlah. Cukup mudah untuk mengetahui kapan waktunya berbicara. Namun mengetahui kapan Anda harus diam adalah hal yang jauh berbeda. Salah satu fungsi bibir adalah untuk dikatupkan. Bagaimana Anda bisa memperhatikan dan mendengarkan dengan lidah yang berkata-kata? Diamlah demi kejernihan pandangan Anda. Orang yang mampu diam di tengah keinginan untuk berbicara mampu menemukan kesadaran dirinya. Sekali Anda membuka mulut, Anda akan temui betapa banyak kalimat-kalimat meluncur tanpa anda kehendaki. Seringkali orang tergelincir oleh kerikil kecil, bukan batu besar. Butiran mutiara indah hanya bisa tercipta bila kerang mutiara mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Sekali ia membuka lebar-lebar cangkangya, maka pasir dan kotoran laut segera memenuhi mulutnya. Inilah ibarat, kekuatan Anda untuk diam. Kebijakan seringkali tersimpan rapat dalam diamnya para bijak. Untuk itu, Anda perlu berusaha membukanya sekuat tenaga. Bukankah pepatah mengatakan, “Diam Adalah Emas”?

Kuatnya Sebongkah Harapan!

Dahulu, ada sepasang pengusaha yang cukup berhasil di kotanya. Ketika Sang Suami jatuh sakit, satu-persatu pabrik mereka dijual. Harta mereka terkuras untuk berbagai biaya pengobatan. Hingga mereka harus pindah ke pinggiran kota dan membuka rumah makan sederhana. Sang suami pun telah tiada. Beberapa tahun kemudian, rumah makan itu pun harus berganti rupa menjadi warung makan yang lebih kecil di sebelah pasar. Setelah lama tak terdengar kabarnya, kini setiap malam tampak Sang Istri dibantu oleh anak dan menantunya menggelar tikar berjualan lesehan di alun-alun kota. Cucunya sudah beberapa. Orang-orang pun masih mengenal masa lalunya yang berkelimpahan. Namun, ia tak kehilangan senyumnya yang tegar saat meladeni para pembeli. Wahai Ibu, bagaimana kau sedemikian kuat?

“Harapan Nak! Jangan kehilangan harapan! Bukankah seorang Guru dunia pernah berujar, karena harapanlah seorang Ibu menyusui anaknya. Karena harapanlah kita menanam pohon meskipun kita tahu kita tak akan sempat memetik buahnya yang ranum bertahun-tahun kemudian, harapanlah yang membuat kita tetap bertahan dimasa sulit, harapanlah yang memberi kita kekuatan untuk bertahan. Jagalah harapan itu. Sekali kau kehilangan harapan, kau akan kehilangan seluruh kekuatanmu untuk menghadapi dunia”.

There's No Shortcut to Happiness

Keberhasilan dan kebahagiaan tidak diperoleh begitu saja. Ia adalah buah dari pohon kerja keras. Jangan terlalu berharap pada kemujuran. Tahukah anda apa itu kemujuran? Bukankah kita tak selalu mampu menjelaskan dari mana datangnya kemujuran?

Sadarilah bahwa segala sesuatu perlu berjalan alami dan semestinya. Pertumbuhan diri adalah proses mendaki tangga. Anda harus melalui anak tangga satu per satu. Tak perlu repot-repot mencari jalan pintas, karena memang “Tak ada jalan pintas”.

Hargai saja setiap langkah kecil yang membawa anda maju. Ketergesaan adalah beban yang memberati langkah saja.

Amati jalan lurus yang ada. Tak peduli bergelombang atau berbatu, selama anda yakin berada di jalan yang tepat, maka melangkahlah terus. Dan, jalan yang tepat itu adalah jalan yang menuntun anda menjadi diri anda sendiri.

Sadarkah Kita?

Sadarkah kita bahwa,;
Kita dilahirkan dengan dua mata di depan, karena seharusnya kita melihat yang ada di depan. Kita lahir dengan dua telinga, satu di kiri dan satu di kanan sehingga kita dapat mendengar dari dua sisi. Menangkap pujian maupun kritikan, dan melihat mana yang benar.

Kita dilahirkan dengan otak tersembunyi di dalam tengkorak kepala. Sehingga betapapun miskinnya kita, kita tetap kaya. Tak seorang pun yang dapat mencuri isi otak kita, yang lebih berharga dari segala permata yang ada.

Kita dilahirkan dengan dua mata, dua telinga, namun cukup dengan satu mulut. Agar kita lebih banyak melihat dan mendengar dari pada berbicara. Karena mulut adalah senjata yang tajam, yang dapat melukai, memfitnah, bahkan membunuh.

Kita dilahirkan dengan satu hati, yang mengingatkan kita untuk menghargai dan memberikan cinta kasih dari dalam lubuk hati. Belajar mencintai dan menikmati dicintai, tetapi jangan mengharapkan orang lain mencintai anda dengan “cara” dan “sebanyak yang sudah anda berikan”.

Berikanlah cinta “tanpa mengharapkan balasan”. Kedengarannya seperti hal yang sulit dan terkesan munafik bukan? Namun jika anda dapat menyingkirkan kemunafikan itu dan menjalaninya maka anda akan menemukan bahwa hidup ini akan menjadi lebih indah.

Just Say... I Don't Know...

Menjadi cerdas, tidak berarti mengetahui segala jawaban. Terkadang, jawaban paling cerdas yang kita dapat katakan adalah “Saya tidak tahu…”. Diperlukan rasa percaya diri dan kecerdasan ekstra untuk mengakui ketidaktahuan kita. Dan saat kita melakukannya, kita sedang berada dalam proses mempelajari jawaban sesungguhnya.

Seringkali, karena alasan kebanggaan dan mencegah rasa tidak aman, kita mengatakan tahu, kita mengatakan tahu, padahal kita tidak tahu. Lewat cara ini, kita telah menyia-nyiakan kesempatan untuk belajar lebih lanjut. Percayalah, tidak ada salahnya jika kita tidak mengetahui suatu hal.

Bagian terpenting dari kebijaksanaan adalah mengetahui batas pengetahuan anda. Mengetahui apa yang kita tahu dan apa yang kita tidak tahu. Orang yang benar-benar cerdas adalah orang yang tahu dan mengerti, bahwa tak semua pertanyaan dapat ia jawab. Orang yang benar-benar cerdas, adalah orang yang mau bertanya, mau belajar, mau bertumbuh.

Gunakan pengetahuan yang anda miliki, dan miliki pengetahuan yang anda perlukan. Itu adalah jalan terbaik yang dapat anda tempuh.

Bercerminlah Pada Diri Sendiri!

Ketika dua cermin saling berhadapan, muncul pantulan yang tak terhingga. Begitulah jika kita mau bercermin pada diri sendiri. Akan kita temukan bayangan yang tak terhingga. Bayangan itu adalah kemampuan yang tak terhingga. Bayangan itu adalah kemampuan yang luar biasa, ketakterbatasan yang memberi kekuatan untuk menembus batas rintangan diri. bercerminlah pada diri sendiri, dan temukan kekuatan itu.

Singkirkan cermin dari orang lain. Disana hanya terlihat kekurangan dan kelemahan kita yang akan memupuk ketidakpuasan saja. Dan ini akan menjerumuskan kita ke dalam jurang kekecewaan.

Anda bukan orang lain. Anda adalah Anda yang memiliki jalan keberhasilan sendiri. Mulailah hari ini dengan menatap wajah Anda. Carilah bayangan yang tak terhingga itu. Di sana ada kekuatan yang akan membawa Anda ke puncak keberhasilan.

Cara Alam Menghibur Kita

Pernahkah Anda mengalami ketika hujan deras mengguyur, Anda lupa membawa payung. Lalu Anda pun basah kuyup kedinginan. Namun, ketika Anda menyiapkan jas hujan, justru panas dan terik datang membakar hari. Sebalkah Anda?

Atau mungkin Anda pernah terburu-buru mengejar waktu, tetapi perjalanan malah tersendat, seolah membiarkan Anda terlambat. Namun, ketika Anda ingin melaju dengan tenang, pengendara lain malah membunyikan klakson agar Anda mempercepat laju kendaraan. Sebalkah Anda? Mengapa seringkali keadaan tak bersahabat? Mereka seakan meledek, mengecoh, bahkan tertawa terbahak-bahak. Inikah yang disebut “kesialan” atau “ketidakmujuran”?

Sadarilah, itu adalah cara alam menghibur kita. Itulah cara alam mengajak kita tersenyum, menertawakan diri sendiri, dan bergurau secara nyata. Kejengkelan dan kesebalan itu muncul karena kita tak mencoba bersahabat dengan keadaan. Kita hanya mementingkan diri sendiri. Kita lupa bahwa jika toh keinginan kita tidak tercapai, tak ada salahnya jika kita menyambutnya dengan senyum. Meski serasa kecut, tak apalah… ^_^

Yang Benar...

Memang menyakitkan ketika kita mencintai seseorang, namun ia tak membalasnya, tetapi yang lebih menyakitkan adalah ketika kita mencintai seseorang dan kita tidak pernah dapat menemukan keberanian untuk mengungkapkan perasaan kita kepadanya.

Sebuah hal yang menyedihkan dalam hidup ketika kita bertemu dengan seseorang, yang sangat berharga bagi kita, hanya untuk mengetahui pada akhirnya seseorang tersebut tidak ditakdirkan untuk bersama kita, sehingga kita harus dengan berat hati membiarkannya pergi dan berlalu.

Teman terbaik adalah teman dimana ketika kita duduk bersama, tanpa ada ucapan sekatapun, dan ketika kita harus berpisah dengannya, terasa seolah hal tersebut merupakan percakapan paling menyenangkan yang pernah dilakukan bersama.

Adalah benar bahwa kita takkan pernah tahu apa yang telah kita dapatkan hingga kita kehilangannya. tetapi adalah benar juga, ketika kita tidak tahu apa yang telah hilang hingga hal tersebut menghampiri kita.

Impikan saja apa yang ingin kita impikan, pergi saja kemanapun kita ingin pergi, jadilah sebagai sosok yang kita inginkan, karena kita hanya memiliki satu buah kehidupan dan satu buah kesempatan untuk dapat melakukan semua hal yang kita inginkan.

Letakkan diri kita sebagai layaknya orang lain, jika kita merasa hal yang kita lakukan akan menyakiti diri kita, hal tersebut mungkin akan menyakiti yang lain pula.

Kata-kata yang terucap tanpa perhitungan mungkin akan menyulut perselisihan, perkataan yang kejam dapat menghancurkan kehidupan, sebuah kata yang tak tepat mungkin juga mampu menambah beban batin seseorang, dan… Sebuah kata yang penuh cinta kasih mungkin dapat menyembuhkan dan memberikan berkah.

Orang yang paling bahagia adalah orang yang tidak merasa selalu membutuhkan semua hal terbaik, mereka hanya berfikir bagaimana mencipta semua hal menjadi terbaik bagi dirinya dan Mereka, orang-orang yang mengisi hidupnya.

Cinta dimulai dengan sebuah senyum, kemudian tumbuh dengan sebuah kecupan, dan berakhir dengan air mata. Ketika kita dilahirkan, kita menangis begitu kerasnya, sementara orang-orang di sekliling kita tersenyum bahagia. Ketika kita menanggalkan hidup, maka kita adalah pihak yang tersenyum begitu bahagia… Sementara orang disekeliling kita menangis.

Paku

Suatu ketika, ada seorang anak laki-laki yang bersifat pemarah. Untuk mengurangi kebiasaan pemarah sang anak, ayahnya memberikan sekantong paku dan mengatakan pada anak itu untuk memakukan sebuah paku dipagar belakang setiap kali ia marah…

Hari pertama anak itu telah memakukan 48 paku ke pagar setiap kali ia marah… Lalu secara bertahap jumlah itu berkurang. Dia mendapati bahwa ternyata lebih mudah menahan amarahnya daripada memakukan paku ke pagar.

Akhirnya tibalah hari dimana anak tersebut merasa sama sekali bisa mengendalikan amarahnya dan tidak cepat kehilangan kesabarannya. Dia memberitahukan hal ini kepada ayahnya, yang kemudian mengusulkan agar dia mencabut satu paku untuk setiap hari dimana dia tidak marah.

Hari-hari berlalu dan anak laki-laki itu akhirnya memberitahu ayahnya bahwa semua paku telah tercabut olehnya. Lalu sang yayah menuntun anaknya ke pagar. “Hmm, kamu telah berhasil dengan baik anakku, tapi, lihatlah lubang-lubang dipagar ini. Pagar ini tidak akan pernah sama dengan sebelumnya. Ketika kamu mengatakan sesuatu dalam kemarahan, kata-katamu meninggalkan bekas seperti lubang ini… di hati orang lain.

Kamu dapat menusukkan pisau pada seseorang, lalu mencabut pisau itu… Tetapi tidak peduli beberapa kali kau minta maaf, luka itu akan tetap ada… Dan luka karena kata-kata adalah sama buruknya dengan luka fisik… Bahkan terkadang lebih buruk”.

Garam dan Telaga

Suatu ketika hiduplah seorang tua yang bijak. Pada suatu pagi, datanglah seorang anak muda yang sedang dirundung banyak masalah. langkahnya gontai dan air muka yang ruwet. Tamu itu, memang tampak seperti orang yang tak bahagia.

Tanpa membuang waktu, orang itu menceritakan semua masalahnya. Pak Tua yang bijak hanya mendengarkannya dengan seksama. Ia lalu mengambil segenggam garam, dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya garam itu kedalam gelas, lalau diaduknya perlahan. “Coba, minum ini, dan katakan bagaimana rasanya..”, ujar Pak Tua itu.

“Pahit. Pahit sekali”, jawab sang tamu, sambil meludah kesamping. Pak Tua itu, sedikit tersenyum. Ia, lalu mengajak tamunya ini, untuk berjalan ke tepi telaga di dalam hutan dekat tempat tinggalnya. kedua orang itu berjalan berdampingan, dan akhirnya sampailah mereka ke tepi telaga yang tenang itu.

Pak Tua itu, lalu kembali menaburkan segenggam garam, ke dalam telaga itu. Dengan sepotong kayu, dibuatnya gelombang mengaduk-ngaduk dan tercipta riak air, mengusik ketenangan telaga itu. “Coba, ambil air dari telaga ini, dan minumlah. saat tamu itu selesai mereguk air itu, Pak Tua berkata lagi, “bagaimana rasanya?”.

“Segar.”, sahut tamunya. “Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu?”. Tanya Pak Tua lagi. “Tidak”, jawab si anak muda. Dengan bijak, Pak Tua itu menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di samping telaga itu. “Anak muda, dengarlah. pahitnya kehidupan, adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu sama, dan memang akan tetap sama.”

“Tapi, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu, akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkan dadamu menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu.”

Pak Tua itu lalu kembali memberikan nasehat. “Hatimu, adalah wadah itu. perasaanmu adalah tempat itu. kalbumu, adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan.”

Keduanya lalu beranjak pulang. Mereka sama-sama belajar hari itu. dan pak tua, si orang bijak itu, kembali menyimpan “segenggam garam”, untuk anak muda yang lain, yang sering datang padanya dengan keresahan jiwa.